Senin, 30 Mei 2011

ARTI LAMBANG “NU”


n-u-lambangNahdlatul Ulama adalah merupakan jam’iyah yang didirikan di Kertopaten, Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. Pertemuan itu, dihadiri oleh ulama se Jawa dan Madura dan diprakarsai oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang sekaligus sebagai tuan rumah.
Dalam Anggaran Dasar NU, Pasal 4, disebutkan “Lambang Nahdlatul Ulama berupa gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkari di atas n-u-lambanggaris katulisitiwa, yang terbesar diantaranya terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah katulisitiwa, dengan tulisan NAHDLATUL ULAMA dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri, semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.”
Arti Lambang
a. Gambar bola dunia melambangkan tempat hidup, tempat berjuang, dan beramal di dunia ini dan melambangkan pula bahwa asal kejadian manusia itu dari tanah dan akan kembali ke tanah.
b. Gambar peta pada bola dunia merupakan peta Indonesia melambangkan bahwa Nahdlatul Ulama dilahirkan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara Republik Indonesia.
c. Tali yang tersimpul melambangkan persatuan yang kokoh, kuat;
Dua ikatan di bawahnya merupakan lambing hubungan antar sesama manusia dengan Tuhan;
Jumlah untaian tali sebanyak 99 buah melambangkan Asmaul Husna.
d. Sembilan bintang yang terdiri dari lima bintang di atas garis katulistiwa dengan sebuah bintang yang paling besar terletak paling atas,
melambangkan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat manusia dan Rasulullah;
Empat buah bintang lainnya melambangkan kepemimpinan Khulaur Rasyidin yaitu Abu Bakar Ash Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Empat bintang di garis katulisitiwa melambangkan empat madzab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
Jumlah bintang sebanyak 9 (sembilan) melambangkan sembilan wali penyebar agama Islam di pulau Jawa.
e. Tulisan Arab “Nahdlatul Ulama” menunjukkan nama dari organisasi yang berarti kebangkitan ulama. Tulisan Arab ini juga dijelaskan dengan tulisan NU dengan huruf latin sebagai singkatan Nahdlatul Ulama.
f. Warna hijau dan putih warna hijau melambangkan kesuburan tanah air Indonesia dan warna putih melambangkan kesucian.

Minggu, 29 Mei 2011

TUGAS PSIKOLOGI PENDIDIKAN TENTANG TEORI – TEORI DARI TOKOH PSIKOLOGI PENDIDIKAN


TUGAS
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
TENTANG TEORI – TEORI DARI  TOKOH PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Disusun guna untuk memenuhi tugas :
Mata Kuliah                   :  Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu           :  Sri Muniroh, M.Psi

Kelas G
Disusun oleh :
Hasan Ali        202109352



JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2011
1.       Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.
Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasilJelasnya, aliran ini memandang bahwa hakekat belajar adalah perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (stimulus-respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu terhadap apa yang datang dari luar individu. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku dari stimulus yang diterimanya (Muhaimin, 2002: 196).
Berdasarkan hal tersebut diatas, teori behavioristik juga sering disebut dengan teori stimulus-respons belajar.
Beberapa teori yang termasuk kategori aliran behaviorisme adalah koneksionisme, pembiasaan klasik (classical conditioning), pembiasaan perilaku respons (operant conditioning) dan Social Learning.
A. Teori Thorndike : Koneksionisme atau Bond-Psychology (1874-1949)
Thorndike adalah salah seorang tokoh dalam lapangan psikologi pendidikan yang besar pengaruhnya. Dalam tulisannya yang mula-mula sekali Thorndike berpendapat, bahwa yang menjadi dasar belajar itu ialah asosiasi antara kesan pancaindera (sense impresion) dengan implus untuk bertindak (impulse to action).
Menurut teori ini belajar adalah proses pembentukan asosiasi antara yang sudah diketahui dengan yang baru. Proses belajar mengikuti tiga hokum, yaitu hokum kesiapan, latiahn, dan hokum efek. Hukum kesiapan (law of readness), merupakan aktivitas belajar yang dapat langsung efektif dan efisien bila subyek telah memiliki kesiapan belajar. Hukum latihan (law of exercise), merupakan koneksi antara kondisi dan tindakan yang akan menjadi lebih kuat bila ada latihan. Hukum Efek (law of effect ), menyatakan bahwa aktifitas belajar yang memberi efek menyenangkan akan terjadi sebaliknya.
Ketiga hukum tersebut, dikenal adanya transfer training. Konsep transfer training bertolak dari teori unsur identik yang menyatakan bahwa hasil latihan pada sesuatu kecakapan dapat di transfer pada kecakapan lain bila banyak mengandung unsur identik.
Adapun hukum-hukum yang dikemukakan oleh Thorndike itu, lebih dilengkapi dengan prinsip-prinsip, sebagai berikut:
1) Siswa harus mampu membuat berbagai jawaban terhadap stimulus.
2) Belajar dibimbing/diarahkan ke suatu tingkat yang penting melalui sikap siswa itu sendiri.
3) Suatu jawaban yang telah dipelajari dengan baik dapat digunakan juga terhadap stimulus yang lain (bukan stimulus yang semula), yang oleh Thorndike disebut dengan “perubahan asosiatif”.
4) Jawaban-jawaban terhadap situasi-situasi baru dapat dibuat apabila siswa melihat adanya analog dengan situasi-situasi terdahulu.
5) Siswa dapat mereaksi secara selektif terhadap faktor-faktor yang esensial di dalam situasi itu.
Jadi, teori koneksionisme cocok bila diterapkan dalam PAI. Sebab dalam koneksionisme, belajar merupakan pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Artinya, dalam belajar PAI hal utama yang paling menentukan adalah adanya stimulus yang bisa membangkitkan dan membentuk minat siswa untuk mau belajar PAI, dimana asa puas yang ditimbulakan akan mendorong pembelajaran.
Selain stimulus-respon, teori ini juga sering disebut dengan “trial and error” yang berarti berani mencoba tanpa takut salah. Jadi, dalam belajar PAI siswa diharapkan untuk berani mencoba mempelajari PAI. Sehingga siswa menemukan keberhasilan untuk mencapai tujuan. Umpanya, dalam mata pelajaran PAI siswa diberi beberapa pertanyaan dan siswa juga dituntut untuk dapat menjawabnya tapi dengan teori koneksionisme trial and error siswa diberi kesempatan untuk berani menjawab pertanyaan yang diajukan tanpa rasa takut salah dalam menjawab dan akan tetap terus berusaha sehingga ia dapat menjawab pertanyan tersebut dengan sempurna.
B. Ivan Petrovich Pavlov: Pavlovianisme:(Classical Conditioning) (1849-1936)
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) sebagaimana telah diuraikan di awal. Seperti halnya dengan Thorndike, Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu (Sanjaya, 2006: 115).
Berdasarkan eksperimen dengan menggunakan anjing, Pavlov menyimpulkan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu (Sanjaya, 2006: 116). Hal ini dikarenakan classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Syah, 1999: 106).
Teori ini disebut classical karena yang mengawali nama teori ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang conditioning (upaya pembiasaan) serta untuk membedakan dari teori conditioning lainnya (Djaali, 2007: 85).
Berdasarkan eksperimen tersebut, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubhan yang di tandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respon. Jadi, pada prinsipnya hasil eksperimen E.L Thondike di muka kurang lebih sama dengan hasil eksperimen Pavlov yang memang di anggap sebagai pendahulu dan anutan Thondike yang behavioriatik itu. Kesimpulan yang dapat kita ambil dari eksperimen pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu di sertai dengan stimulus penguat (UCS), Stimulus tadi (CS) cepat atau lambat ahlinya akan menimbulkan respon atau perubahan yang kita kehendaki yang dalam hal ini (CR).
Selanjutnya, Skiner berpendapat bahwa proses belajar yang berlangsung da;am eksperimen Pavlov itu tunduk kepada dua macam hokum yang berbeda yakni low of respondent conditioning dan low of responden extinction. Secara harfiah low of respondent conditioning adalah hukum pemusnahan yang di tuntut.
Jadi teori classical conditioning juga cocok bila diterapkan dalam pembelajaran PAI, sebab belajar erat hubungannya dengan prinsip penguatan kembali. Atau dengan perkataan lain, ulangan –ulangn dalam hal belajar adalah penting. Sebagai contoh; siswa-siswa sedang membaca do’a diawal pelajaran (UR) apabila melihat seorang guru hendak masuk kelas (US) mulanya berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel masuk kelas (CS) bersama-sam dengan datangnya guru ke kelas (UCS). Setelah kegiatan berulang-ulang ini selesai, suatu hari suara bel masuk kelas tadi berbunyi tanpa disertai dengan kedatangan guru ke kelas ternyata siswa-siswa tersebut tetap membaca do’a juga (CR) meskipun hanya mendengarkan suara bel. Jadi (CS) akan menghasilkan (CR) apabila CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama.
C.  B.F. Skinner (104-1990)
Operant Conditoning  Seperti Pavlov dan Watson, skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan respin, tetapi berbeda dengan kedua tokoh tersebut, yang terdahulu itu. Skinner membuat perincian lebih jauh.
Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku. Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
Dalam penerapanya teori operant conditioniang juga cocok bagi PAI, sebab dalam teori ini “reward” atau “reinforcement” dianggap sebagai faktor terpenting dalam proses belajar, artinya bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor lingkungan, rangsangan, stimulus). Dilanjutkan bahwa dengan memberikan ganjaran positif, suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatis suatu perilaku akan dihambat.
Dalam situasi belajar PAI misalnya , hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement langsung. Hukuman menunjukkan apa yang tidakboleh dilakukan oleh murid. Sedangkan reward menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid. Sebagai contoh; murid yang tidak menghafalkan pelajaran Qur’an hadits selalu disuruh berdiri didepan kelasoleh gurunya. Sebaliknya jika ia sudah hafal maka ia disuruh duduk kembali dan dipuji oleh gurunya. Lama-kelamaan anak itu belajar menghafal setiap pelajaran Qur’an hadits.
D.  Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
Begitu juga dengan teori-teori sebelumnya, teori ini juga cocok bila diterapkan dalam pembelajaran,  sebab teori ini memandang bahwa tingkah laku manusia bukan refleks otomatis atas stimulus melainkan juga akibat reaksi antara stimulus dan lingkungan.
2.       Teori Humanistik
Beberapa teori yang termasuk kategori aliran Humanistik adalah:
A.  Arthur Combs (1912-1999)
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya..

b. Abraham Maslow (Abraham Harold Maslow)
Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia tergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Teorinya yang sangat terkenal sampai dengan hari ini adalah teori tentang Hierarchy of Needs (Hirarki Kebutuhan). Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk melihat dalam spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. “Berapa banyak hal yang bisa dilakukan manusia? Dan bagaimana aku bisa membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut dengan lebih baik?
Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).

B.  Carl Rogers (Carl Ransom Rogers)
Carl Ransom Rogers dilahirkan di Oak Park, Illinois, pada tahun 1902 dan wafat di LaJolla, California, pada tahun 1987. Semasa mudanya, Rogers tidak memiliki banyak teman sehingga ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membaca. Dia membaca buku apa saja yang ditemuinya termasuk kamus dan ensiklopedi, meskipun ia sebenarnya sangat menyukai buku-buku petualangan. Ia pernah belajar di bidang agrikultural dan sejarah di University of Wisconsin. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master di bidang psikologi dari Columbia University dan kemudian memperoleh gelar Ph.D di dibidang psikologi klinis pada tahun 1931.
Pada tahun 1931, Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for the prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-masa berikutnya ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal dengan menggunakan metode-metode psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu tulisan berjudul “The Clinical Treatment of the Problem Child”, yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai profesor pada fakultas psikologi di Ohio State University. Dan pada tahun 1942, Rogers menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society.
Carl Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapist) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas terapist hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers, teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang penting dalam melakukan treatment kepada klien.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
3. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.

Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
1. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
8. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
10. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.

3. Teori Belajar Kognitif menurut Piaget (Jean Piaget)
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.

4. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
a. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
b. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
c. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
d. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi Teori Belajar Sebagai Landasan Pembelajaran Perkembangan teori belajar cukup pesat. Berikut ini adalah teori belajar dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran.

1.       Aplikasi Teori Behaviorisme
Belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku dapat berujud sesuatu yang konkret atau yang non konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat meteri pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.
Aplikasi teori belajar behaviorisme menurut tokoh-tokoh antara lain :
A. Aplikasi Teori Pavlov
Contohnya yaitu pada awal tatap muka antara guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap yang ramah dan memberi pujian terhadap murid-muridnya, sehingga para murid merasa terkesan dengan sikap yang ditunjukkan gurunya.
B. Aplikasi Teori Thorndike
• Sebelum guru dalam kelas mulai mengajar, maka anak-anak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak disuruh duduk yang rapi, tenang dan sebagainya.
• Guru mengadakan ulangan yang teratur, bahkan dengan ulangan yang ketat atau sistem drill.
• Guru memberikan bimbingan, pemberian hadiah, pujian, bahkan bila perlu hukuman sehingga memberikan motivasi proses belajar mengajar.

C. Aplikasi Teori Skinner
Guru mengembalikan dan mendiskusikan pekerjaan siswa yang telah diperiksa dan dinilai sesegera mungkin.
2. Aplikasi Teori Humanistik
Belajar adalah menekankan pentingnya isi dari proses belajar bersifat eklektik, tujuannya adalah memanusiakan manusia atau mencapai aktualisasi diri. Aplikasi teori humanistik dalam pembelajaran guru lebih mengarahkan siswa untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Hal ini dapat diterapkan melalui kegiatan diskusi, membahas materi secara berkelompok sehingga siswa dapat mengemukakan pendapatny masing-masing di depan kelas. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila kurang mengerti terhadap materi yang diajarkan.Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
Guru yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar.Ruang kelads lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah ,mudah menjadi tidak sabar ,suka melukai perasaan siswa dengan komentsr ysng menyakitkan,bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada.
3. Aplikasi teori belajar kognitif Menurut Piaget
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
4. Aplikasi teori belajar Gestalt
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
a. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
b. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
c. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
d. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
e. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
maka dapat disimpulkan bahwa :
Teori belajar humanisme, behaviorisme, piaget dan gestal memiliki ciri khas masing-masing . Teori belajar humanisme berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang perilakunya bukan sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah mambantu siswa untuk mengembangkan dirinya yaitu membantu masing- masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik & membantu dalam mewujudkan potensi- potensi yang ada pada diri mereka.Sedangkan teori belajar behavioristik merupakan proses perubahan tingkah laku sebagai akibat adanya interaksi antara stimulus dengan respons yang menyebabkan siswa mempunyai pengalaman baru. Aplikasinya dalam pembelajaran adalah bahwa guru memiliki kemampuan dalam mengelola hubungan stimulus respons dalam situasi pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat optimal. Teori piaget dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Sedangkan teori gestalt Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan.
Implikasi perkembangan teori pembelajaran sekarang sangatlah beragam. Guru dapat menerapkan menurut aliran-aliran teori tertentu. Seperti teori behavioristik dalam pembelajaran guru memperhatikan tujuan belajar, karakteristik siswa, dan sebagainya.

Sabtu, 28 Mei 2011

MAKALAH KEMUNDURAN PERADABAN KERAJAAN ISLAM PADA MASA TURKI UTSMANI


MAKALAH

KEMUNDURAN PERADABAN KERAJAAN ISLAM
PADA MASA TURKI UTSMANI

Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah                : Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu        : Ely Mufidah, M.S.I.


 











Disusun Oleh :

HASAN ALI                                            202109352
LAILA ANI HIDAYATI                        202109351
MUHAMMAD MIRZA YULIANTO    202109355


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) PEKALONGAN
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Kehancuran imperium Usmani merupakan transisi yang lebih komplek dari masyarakat Islam imperial abad 18. Menjadi negara-negara nasional modern, rezim Usmani menguasai wilayah yang sangat luas, meliputi Balkan, Turki, Timur Tengah, Mesir dan Afrika Utara, dan pada abad ke-19, secara substansial Usmani memperbaiki kekuasaan pemerintah pusat, mengkonsolidasikan kekuasaannya atas beberapa propinsi dan melancarkan reformasi ekonomi, sosial, dan kultural yang dengan kebijakan tersebut mereka berharap dapat menjadikan rezim Usmani mampu bertahan di dunia modern.
Meskipun Usmani telah berjuang mempertahankan reformasi negara dan masyarakat, namun perlahan-lahan imperium Usmani kehilangan wilayah kekuasaannya. Beberapa kekuatan Eropa yang terlebih dahulu mengkonsolidasikan militer, ekonomi dan kemajuan teknologi mereka sehingga pada abad ke-19 bangsa Eropa jauh lebih kuat dibandingkan rezim Usmani.
Untuk dapat bertahan, rezim Usmani bergantung pada keseimbangan kekuatan-kekuatan Eropa. Hingga tahun 1878 kekuatan Inggris dan Rusia berimbang dan hal ini menyelamatkan rezim Usmani dari mereka, namun pada tahun 1878 sampai 1914, sebagian besar wilayah Balkan menjadi merdeka dan Rusia, Inggris, dan Austria Hungaria semua merebut sejumlah wilayah Usmani hingga ia menjadi imperium yang tidak beranggota, memuncak pada akhir Perang Dunia I lantaran terbentuknya sejumlah negara baru di Turki dan di Timur Tengah Arab.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    SEBAB - SEBAB RUNTUHNYA PEMERINTAHAN UTSMANI
Sebab-sebab runtuhnya pemerintahan utsmani sangatlah banyak, yang semuanya tersimpul pada semakin menjauhnya pemerintahan utsmani terhadap pemberlakuan syariah Allah yang menyebabkan kesempitan dan kesengsaraan bagi umat di dunia. Dampak dari jauhnya pemerintahan utsmani dari syariah Allah ini tampak sekali dalam kehidupan yang bersifat keagamaan, social, politik dan ekonomi. Serta fitnah dan cobaan yang datang silih berganti dan tiada henti yang menambah sebab runtuhnya pemerintahan utsmani.
Jauhnya para sultan di akhir-akhir pemerintahan utsmani dari syariah Allah berdampak negative terhadap kehidupan umat islam. Sehingga manusia begitu tenggelam pada kehidupan materi dan perilaku jahiliyah yang kemudian ditimpadengan kesusahan, kebingungan dan rasa takut yang berlebihan, serta pengecut. Kaum muslimin telah ditimpa kebodohan yang sangat memuncak dan mereka kehilangan identitas dirinya serta sepiritya melemah.
Sunatullah berlaku dalam pemerintahan utsmani, dimana disana telah terjadi perubahan jiwa dalam hal ketaatan dan kepatuhan dan menjelma menjadi keingkaran dan pembangkangan pada hukum- hukum Allah. Sesungguhnya penyimpangan para sultan utsmani yang padaakhir masa pemerintahan dari syariat Allah telah menimbulkan dampak yang tidak kecil terhadap umat islam. Sehingga muncullah permusuhan internal antar manusia dan kebencian merajalela. Sedangkan sedangkan kekuasaan musuh semakin menguat dan memetik kemenangan.
Sesungguhnya pemerintahan utsmani pada awal-awal pemerintahannya berjalan diatas syariat Allah, mereka begitu komitmen dengan manhaj Ahli Sunnah dalam perjalanan dakwah dan jihadnya. Selakukan melakukan syarat-syarat untuk memperoleh kemenangan dan kejayaan. Sebaliknya, di akhir pemerintahannya syarat-syarat tersebut sama sekali tidak dipenuhi dan menyimpang dari pemahamannya yang asli.
B.     PENYMPANGAN – PENYIMPANGN YANG TERJADI DI AKHIR MASA PEMERINTAHAN UTSMANI
1.      Salah satu bentuk Kebenaran Imam Adalah Adanya Loyalitas (Wala’) dan Disloyalitas (Bara’)
Pada awalnya, pemerintahan Ustmani menjalankan firman Allah SubhanahuwaTa’la yang berbunyi,



“ Janganlah orang – orang mukmin menjadikan orang – orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang – orang mukmin. “ ( Al-Imran : 28 )
Sedangkan di masa-masa akhir pemerintahannya penguasa dan para sultan bsrsikap lemah terhadap musuh-musuhnya dikalangan kafir dan menjadikan mereka sebagai pemimpin mereka. Dimana orang-orang kafir itu memang memiliki kekuatan materi yang demikian kuat dan banyak. Sedangkan kaum muslimin berada dalam posisi sebaliknya.posisi umat islam yang sangat menydihkan ini telah bayak membantu mengguncang akidah umat islam[1]. Namun demikian, akidah kaum muslimin secara umum masih tetap jokojh dalam pikiran mereka. Kaum  muslimin merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudaranya.
Sebagian di antara mereka ikut ambil bagian dalam jihad memerangi orang-orang yang mengancam islam. Dalam sekala kecil yang tidak kecil, mereka masih memiliki sifat yang pernah disabdakan Rasulullah yakni laksana satu tubuh jika salahsatu organ tubuh sakit maka yang lain tidak bisa tidur dan ikut meriang.[2]




2.   Penyempitan Makna Ibadah
Orang-orang Utsmani generasi awal memahami ibadah dengan pemahaman yang menyeluruh dan komplit.
Sebagaimana yang Allah subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Yakni ibadah itu hrndaknya menakup segala aktivitas kehidupan manusia.
Sesungguhnya kemajuan yang dicapai pemerintahan Utsmani pada masa keemasannya mencakup semua bidang ilmu pengetahuan, kebangsaan, pemerintahan dan militer. Sedangkan pada masa-masa akhir pemerintahan utsmani, pemahamanibadah semakin disempitkan hanya pada masalah-masalah ibadah ritual yang dilakukan sebagai tradisi yang diwariskan turun temurun dan tidak memiliki pengaruh apa - apa terhadap para pelakunya. Maka jadilah proses isolasi ibadah ritual dari sisi islam yang lain sehingga islam terasing dari bagian islam yang lain seperti jihad, hukum-hukum mu’amalat keuangan.
Penyempitan makna ibadah ini telah menimbulkan dampak negative diantaranya:
a)      Ibadah - ibadah ritual dilakukan secara turun temurun dan taklid, sama sekali tidak memiliki dampak dan faedah.
b)      meremehkannya manusia atas ibadah - ibadah yang lain.
c)      banyak memperjatikan sisi individu dan meremehkan sisi - sisi social kemasyarakatan.
d)     memposisikan ibadah sebagai sebuah kerja dan mencukupkan diri dengan formalitas - formalitasnya, bahkan ditambah dengan bid’ah dengan cara tidak mengambil sebab-sebab.

3.   Menyebarnya Fenomena Syirik Bid’ah dan Khurafat
Sesungguhnya pemerintahan Utsmani pada dua abad terakhir tenggelam dalam fenomena syirik, bid’ah dan kufarat. Terjadinya penyimpangan besar-besaran dalam tauhid Uluhiyyah yang disertai kegelapan dan kebodohan sehingga menutup hakikat agama. Cahaya tauhid menjadi sirna dan menyimpang dari jalan yang lurus.[3]
Pada akhir masa pemerintahan Utsmani terjadi pembangunan kubah-kubah kuburan, seakan-akan manusia diperintahkan untuk membagun bangunan diatas kuburan, persoalannya semakin bertambah buruk, dimana sebagian fuqaha’ memberikan fatwa bolehnya membangun kubah-kubah diatas kubur, Masalah semakin runyam karena mereka menuliskan fatwa-fatwa didalam buku-buku yang mereka karang, dimana para murid mempelajari fatwa-fatwa dalam tulisan mereka.[4]
Wabah ini menjangkit dan merayap dalam darah pemerintahan Utsmani. Kekejiannya semakin besar dan jatuhlah pemerintahan Utsmani pada kemusyrikan.

4.   Sufi yang Menyimpang
Sesungguhnya penyimpangan terbesar yang terjadi dalam sejarah umat ini adalah, munculnya kaum sufi yang menyimpang yang kemudian menjadi sebuah kekuatan yang terorganisir di dalam masyarakat islam yang mengusung pemikiran, akidah dan ibadah kekuatan dan pengaruh kalangan sufi yang menyimpang ini demikian kuat pada akhir masa pemerintahan Utsmani dikarenakan :
a.       kondisi yang demikian buruk yang dialami oleh umat ini serta realitas yang demikian getir dan pahit yang dialami oleh kaum muslimin di masa tersebut.
b.      Adanya ketidakstabilan keamanan merupakan cirri dari akhir masa pemerintahan Utsmani dimana sering kali terjadi jiwa manusia harus melayang. Akibat sesuatu yang sangat sepele atau bahkan tanpa sebab apapun.
c.       Kehidupan yang mewah ditengah kalangan sufi.
d.      Rasa cinta orang – orang Turki Utsmani pada kalangan Darwisy.




5.   Gencarnya Kelompok Aktivitas Kelompok-kelompok Menyimpan
Gerakan kelompok menyimpang ini seperti syi’ah itsna ‘Asyariah, Druz, Nushariyyah, Isma’iliyah, Qadiyani, Bahai dan sekte-sekte agama sesat yang telah mencemarkan nama islam. Gerakan ini menampakan  batang hidungya, khususnya sejak kedatangan penjajah Salibs yang telah menekuklutukkan umat islam.
Sekte - sekte ini telah menjadi sumber sandungan besar, fitnah dan kekacauan didalam pemerintahan Utsmani, sekte - sekte ini tidak pernah puas dan tidak pernah berhenti untuk melakukan konspirasi dengan musuh-musuh islam dan melakukan penghianatan terhadap kaum muslimin dalam waktu dan kondisi yang sangat sangat genting. Kaum muslimin telah merasakan bagaimana jahatnya sekte-sekte ini, tatkala aqidah kalangan Ahli Sunnah kian melemah ditengah pemerintahan Utsmani dan ditengah masyarakat luas secara umum.

6.   Tidak Adanya Pemimpin Rabani
Sesungguhnya para peneliti mengenai pemerintahan Utsmani mendapatkan bahwa kepemimpinan Rabani ini pernah ada didalam pemerintahan Utsmani di masa-masa awal, khususnya pada saat penaklukan kota konstinopel. Para ulama Rabani adalah jantung pemerintahan Utsmani dan sebagai otak yang memikirkan jalan pemerintahannya.
Sedangkan di masa - masa akhir pemerintahan Utsmani, yang di dapatkan para peneliti adalah sebuah penyimpangan yang berbahaya dalam kepemimpinan Utsmani.

7.   Penolakan Dibukanya Pintu Ijtihad
Di akhir masa pemerintahan Utsmani, seruan sntuk membuka kembali pintu ijtihad dianggap sebagai suatu hal yang sangat tabu dan dosa besar. Bahkan seruan itu dalam anggapan orang-orang yang fanatic dengan taklid dan setia dengan kejumudan dianggap sebagai kekufuran. Salah satu tuduhan yang diarahkan kepada seruan dakwah Salafiyah dan para ulamanya adalah, karena mereka sering menyerukan dibukanya pintu ijtihad. Tuduhan itu bertiup kencang, padahal pada realitanya tidak ada yang mengatakan agar pintu ijtihad dibuka. Seruan untuk menutup pintu ijtihad ini telah menjadi sesuatu yang diwariskan secara turun temurun di antara orang - orang yang demikian fanatic. Namun semangat mereka semakin berkobar di masa akhir pemerintahan Utsmani, untuk membendung siapa saja yang menyeru dibukanya pintu ijtihad.
Mereka akan senantiasa menyerang siapa saja yang terlibat dengan usaha - usaha membuka pintu ijtihad ini. Ini semua membuat orang - orang yang “ terbaratkan “ memberanikan diri dengan upaya yang kuat dan serius untuk mengimpor sistem dan metode dari Eropa.

8.   Menyebarnya Kezhaliman dalam Pemerintahan Utsmani
Kezhaliman dalam sebuah pemerintahan adalah laksana penyakit yang ada pada diri manusia, yang akan mendatangkan kematian padanya dalam jangka waktu tertentu. Maka kezhaliman yang ada di dalam sebuah pemerintahan juga akan segra nenggiringnya pada kehancuran, akibat terjadinya komplikasi penyakit di dalam pemerintahan dan hanya Allah yang tahu pasti kapan kehancuran itu akan terjadi. Namun kita tidak mengetahui kapan waktu kehancurannya secara pasti akan terjadi. Tidak mungkin bagi seorangpun tahu, sebab ketentuan hanya ada pada Allah subhanahu wa Ta’ala semata.[5]

9.   Foya-foya dan Tenggelam dalam Syahwat
Sunatullah telah berlaku bagi orang-orang yang foya-foya yang telah tertipu oleh kenikmatan dunia dan menjauhisyariah Allah, dengan dijatuhkannya kehancuran dan azab atas mereka. Salah satu sunatullah adalah dengan menjadikan kehancuran sebuah kaum akibat kefasikan orang – orang yang bermewah – mewahan setelah terjadi penyimpangan yang sangat berbahaya ini dan tenggelamnya mereka dalam foya – foya, main – main dan syahwat, pemerintahan Utsmani hancur dan kehilangan factor – factor penunjang kelestariannya.
10. Perselisihan dan Perpecahan
Sebab – sebab kehancuran suatu bangsa adalah adanya perselisihan, perbedaan yang menghancurkan umat adalah perbedaan yang tercela yakni perselisihan yang menyebabkan pada perpecahan seta tidak adanay tolong menolong antara orang – orang yang berselisih.
Kehancuran muncul akibat adanya perselisihan yang tercela sebab perselisiahan akan menjadi satu dari sekian sebab kehancuran pemerintahan Utsmani. Oleh sebab itulah, bahaya paling besar yang mengancam gerakan islam ini adalah terjadinya perselisihan yang tercela.

C.    KEMEROSOTAN KONDISI SOSIAL EKONOMI
Situasi politik kerajaan Turki Utsmani yang kurang diperparah perkembangan perdagangan global.
1.      Ledakan jumlah penduduk sekitar abad ke 16, sebanarnya arus imigrasi telah menurun. Akan tetapi problem kependudukan saat itu lebih banyak disebabkan oleh tingkat pertambahan penduduk yang sedemikian tinggi dan ditambah dengan menurunnya angka kematian akibat masa damai dan aman yang diciptakan kerajaan serta menurunnya frekuensi menakutkan.
2.      Lemahnya perekonomian dan perdagangan, kerajaan menghadapi problem internal perdagangan dan ekonomi internasional dalam negeri mulai melemah pada abad ke 16, dan pada saat yang sama bangsa Eropa telah mengembangkan struktur kekuatan ekonomi dan keuangan bagi kepentingan mereka sendiri. Salah satu dampak inflasi adalah dihapuskannya system timar sebagai basis ekonomi militer.







D.  MUNCULNYA KEKUATAN EROPA
Munculnya kekuatan politik baru di daratan Eropa disebabkan oleh beberapa penemuan dibidang teknologi yang selanjutnya mendorong bangkitnya kekuatan baru di bidang ekonomi maupun militer. Perubahan ini tidak hanya merubah format hidup masyarakat islam, tetapi juga seluruh umat manusia.

Munculnya muka baru dari wilayah Eropa telah membawa konflik dunia Barat dengan dunia Islam. Ketika Islam telah membentang dari Timur Tengah hingga Asia Selatan dan Tenggara, Afrika dan Eropa Timur, masyarakat Eropa hendak meluaskan ambisi imperialisme hingga ke wilayah yang berseberangan dengan wilayah Islam.
Pada abad kedelapan belas, kerajaan Turki Utsmani hampir tidak mampu membendung tumbuhnya kekuatan militer bangsa Eropa. Apalagi terhadap penetrasi ekonomi mereka.

















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
1.      Semakin menjauhnya pemerintahan Utsmani terhadap pemberlakuan syariah.
2.      Kaum muslimin di akhir fase pemerintahan Utsmani telah ditimpa kebodohan yang sangat memuncak dan kehilangan sensivitas diri, kehilangan identitas diri dan spiritnya melemah.
3.      Di akhir pemerintahan Utsmani telah banyak terjadi penyimpangan oleh para Sultan.
4.      Adanya penyempitan makna ibadah yang menimbulkan dampak negatif.
5.      Banyak diantara para ulama di akhir masa pemerintahan Utsmani yang tenggelam dalam kemewahan materi dan berfoya – foya.


















DAFTAR PUSTAKA

Ash-shalabi, Ali Muhammad Dr. 2002. Bangkit dan Runtuhnya Khalifah Utsmaniyah. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Mughni, Syafiq A Dr. 1997. Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Sya’labi, Ahmad. 1985. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Pustaka Al-Husna























[1] Lihat: Al-Inhirafaat Al-‘Aqadiyah waAl-‘Ilmiyah, Ali Az-Zahrani(1/142)
[2] Sebagaimana disebutkan dalam HR. Bukhari. Kitab Adab. Bab Kasih Terhadap Manusia dan Binatang (10:438) hadis no. 6011
[3] Lihat: Al-Inhirafaat Al-‘Aqadiyah waAl-‘Ilmiyah (1/271)
[4] Lihat: Majmu’ Al-Fatwa (27/162)
[5] Lihat: Al-Sunnah Al-Ilahiyyah,hlm. 121.